Kasus Dugaan Korupsi Lahan Parkir RSUD Maria Walanda Maramis di Minahasa Utara Menguak Fakta Baru

0
206
Potongan hasil evaluasi provinsi melalui SK nomor 500 yaitu pada tanggal 17 Desember dan diterima oleh Bagian Keuangan yang berisi larangan pengadaan lahan.
Minut, KOMENTAR.ID
Kasus dugaan korupsi pembayaran lahan parkir RSUD Maria Walanda Maramis (MWM) di Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulut, yang diduga sarat konspirasi, mulai menguak fakta baru.
Adalah dokumen hasil keputusan DPRD Kabupaten Minut nomor 11 tahun 2019 yang seharusnya ditandatangani paling kurang dua pimpinan DPRD (Prinsip kolektif-kolegial) namun yang terjadi ialah dokumen tersebut hanya ditandatangani oleh Ketua DPRD Minut, Denny Kamlon Lolong (DKL).
Dokumen penyempurnaan RANPERDA yang hanya ditandatangani oleh ketua DPRD Minut Denny K Lolong
Di saat bersamaan pada poin ketiga dokumen tersebut disebutkan jika keputusan yang telah disetujui DPRD Kabupaten Minut dan Bupati, meski  diduga dokumen itu tidak melalui pembahasan atau mekanisme yang seharusnya dilaksanakan.
Hal lain yang semakin membuat tanda tanya ialah beberapa anggota DPRD (DKL, EM dan OM) yang sudah dipanggil untuk dimintai sebagai saksi dalam persidangan justru memberi keterangan yang berbeda-beda.
Meski demikian, masih ada juga beberapa anggota Banggar lainnya yang belum dimintai keterangan.
Terhadap hal ini, publik berharap kasus ini bisa terbuka dan jadi terang benderang  sehingga kelima terdakwa yang saat ini ditahan, dapat keadilan.
Pasalnya, sejumlah kalangan menilai jika kelima terdakwa ini hanyalah korban perintah atasan.
“Saya berharap kasus ini dapat segera terungkap jelas ke publik agar siapa-siapa yang menerima aliran dana segera ditetapkan menjadi tersangka karena saya yakin adik saya tidak menerima uang kasus tersebut,”  kata salah satu kerabat terdakwa yang meminta namanya tidak dipublis.
Diketahui, salah satu anggota Banggar DPRD Minut, Novi Paulus beberapa waktu lalu ngotot dalam pernyataannya di beberapa media menolak rencana pembelian lahan itu.
“Saya sejak awal saya menolak pembelian lahan tersebut dan menyatakan tidak setuju,” tegas Novi waktu itu.
Sementara itu, dalam pemeriksaan saksi oleh majelis Hakim dan JPU, saksi SP alias Stenly menyebutkan jika hasil evaluasi provinsi melalui SK nomor 500 yaitu pada tanggal 17  Desember dan diterima oleh Bagian Keuangan jelas melarang untuk dilakukan pengadaan tanah.
“Sedangkan hasil rapat tanggal 31 Desember bertolak belakang dengan hasil evaluasi provinsi di mana sikap Banggar adalah bisa dianggarkan atau tetap dianggarkan,” beber SP dalam keterangannya.
Bahkan dia mengatakan jika dalam SK nomor 500 tersebut diketahui alasan tidak bisa dianggarkannya pembelian tersebut lantaran lahannya masih bermasalah.
“Namun yang terjadi adalah tanah yang masih bermasalah itu  tetap dibayarkan atas dasar kesepakatan DPRD (Hanya ditandatangani 1 pimpinan) dan TAPD,” bebernya lagi.
Sekadar diketahui, dari beberapa anggota DPRD yang dipanggil sebagai saksi, masih ada yang belum memenuhi panggilan di antaranya SE.
[tim redaksi]